Versi singkat dari ulasan di bawah sudah dimuat di media Serambi Indonesia (grup Tribun) edisi Selasa 3 Oktober 2017. Silakan klik HERE untuk membaca di web Serambi Indonesia.
***&***
Baru-baru ini dunia ritel konvensional Indonesia mengalami goncangan besar. Ada beberapa perusahaan besar yang sudah lama merajai pasar Indonesia harus tutup gerainya karena pangsa pasar mereka makin hari makin lesu. Beberapa di antarnnya yaitu Matahari, Lotus, dan Debenhams yang menurut beberapa outlet mereka. Mungkin 10-15 tahun lalu, para pemilik ritel tersebut tidak ada yang memprediksi bakal collapse seperti ini karena mereka sudah menguasai pasar ritel Indonesia. Namun kemajuan teknologi membuat mereka tergerus toko-toko online yang tumbuh berjamur di mana-mana. Pertanyaanya, apakah permintaan yang berkurang sehingga mereka harus tutup ritelnya? Tentu saja bukan masalah daya beli dan permintaan yang membuat mereka harus menghentikan beberapa ritel utama mereka dan berdampak serius juga terhadap ribuan karyawannya. Orang tetap butuh pakain karena toh sandang tetap menjadi kebutuhan utama manusia. Tapi tempatnya sudah berpindah dari dunia ritel konvensional ke dunia maya. Tren berbelanja, terutama generasi melanial telah beralih dari department store (banyak jenis) ke specialty store (toko dengan menawarkan produk tertentu saja). Beberapa platform belanja online besar di Indonesia seperti lazada, tokopedia, bukalapak, belanja.com dan sejenisnya mengambil alih pangsa pasar. Belum lagi ditambah dengan ribuan atau bahkan mungkin mencapai jutaan toko online individu (non korporasi) yang menjamur di sosial media dan menawarkan produk-produk pakain dengan harga lebih murah karena mereka tidak perlu biaya tinggi untuk sewa toko, bayar karyawan, dan biaya operasional lainnya seperti toko-toko tradisional lainnya.

Serambi Indonesia (Grup Tribun) 24/11/17
Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Profesor Rhenald Kasali menyebut fenomena di atas dengan istilah shifting. Menurut beliau, Continue reading